Minggu, 22 Juli 2012

Nitisemito




Nitisemito menjadi legenda saja dalam sejarah kretek di Kudus. Nitisemito tampil sebagai pengusaha kretek sukses diawal industrialisasi kretek. Penikmat kretek masa kini lebih kenal Dji Sam Soe dari pada Bal Tiga yang pernah Jaya itu. Nitisemito, kalau boleh dibilang dialah konglomerat kretek di awal sejarah komersialisasi di Kudus bahkan di nusantara. Sebenarnya ada banyak legenda dalam sejarah rokok kretek, termasuk cerita penjual kretek bernama Roro Mendut, sosok wanita cantik yang memikat pelanggannya bukan karena rasa kreteknya, melainkan ludah Roro Mendut untuk merekatkan gulungan kreteknya.
Nitisemito tidak meneruskan jejak ayahnya menjadi kepala desa, dia lebih memilih menjadi seorang wirausaha. Di usianya yang ke 17, dia merantau ke Malang (Jawa Timur) bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Perlahan Nitisemito menjadi pengusaha konveksi yang sedang berkembang walau hanya sementara. Usaha konveksinya ini bangkrut karena dililit hutang. Lepas menjadi pengusaha konveksi, Nitisemito pun pulang kampung dan berdagang kerbau dan memproduksi minyak kelapa, usaha ini juga gagal. Akhirnya dia kembali ke bawah lagi, kali ini menjadi kusir dokar. Walau begitu, jiwa dagang-nya masih mengalir dalam tubuhnya, di samping mencari nafkah dengan menjadi kusir, Nitisemito juga menjajakan tembakau.
Perlahan tapi pasti usaha rokok itupun maju pesat. Awalnya, Nitisemito memberi label rokoknya “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo” (Jawa: Rokok cap Kodok makan ular), karena label itu menjadi bahan tertawaan dan tidak membawa hoki,Nitisemito lalu menggantinya dengan nama Tjap Bulatan Tiga. Karena kotak pembungkus rokok ini bergambar bulatan mirip bola, merek ini lebih dikenal pasar sebagai Bal Tiga. Merek Bal Tiga ini akhirnya menjadi merek resmi rokok produksi Nitisemito, akhirnya rokok ini diberi nama: Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito. Secara resmi Bal Tiga lahir pada tahun 1914 di desa Jati, Kudus.
Setelah usaha rokoknya berjalan sepuluh tahun, Nitisemito berhasil mendirikan pabrik diatas lahan 6 hektar di desa jati. Saat itu, di Kudus sudah beroperasi 12 pabrik rokok yang terbilang besar untuk ukuran masa itu, diantaranya milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe) H.M. Muslich (merek Delima), Haji Ali Asikin (merek Djangkar) dan Tjoa kang Hay (merek Trio), M. Sirin (merek Garbis & Manggis). Disamping yang besar, terdapat 6 pabrik rokok kelas-kelas gurem di Kudus waktu itu. Ditahun 1938, Nitisemito telah membawahi 10.000 buruh rokok dengan produksi rokok 10.000.000 batang perhari. Usaha Nitisemito semakin besar dan uang yang masuk semakin deras, untuk lebih mudah mengontrol keuangan, Nitisemito memperkerjakan tenaga pembukuan asal Belanda, orang kulit putih. Ironis untuk zaman itu, seorang pribumi mampu memperkerjakan orang Belanda. Biasanya orang pribumi bekerja pada orang-orang Belanda.
Nitisemito berusaha agar usaha rokoknya abadi untuk anak cucunya. Kaderisasi pewaris usaha diadakan dengan mengambil salah satu pegawai terpandainya untuk masuk dalam keluarganya. Nitisemito melihat bakat wiraswasta pada diri M. Karmani. Putri kedua Nitisemito lalu dinikahkan dengan Karmani. Nitisemito yang akan pensiun pelan-pelan dari usahanya itu mengangkat Karmani sebagai Menejer pabrik rokok Bal Tiga-nya. Begitu semangatnya, Nitisemito juga menyertakan nama Karmani dalam rokok Bal Tiga-nya.
Perjalanan usaha pribumi macam Bal Tiga Nitisemito tidak tanpa badai. Persaingan antar pengusaha, khususnya pengusaha pribumi dengan pengusaha Tionghoa dalam industri rokok berujung pada sebuah konflik dan huru-hara 31 Oktober 1918, yang berbentuk pada tindakan pengerusakan dan pembakaran pabrik rokok kretek, beberapa pengusaha rokok lalu diseret ke pengadilan dan dipenjara. Kerusuhan itu mengakibatkan kemunduran beberapa industri rokok kretek termasuk Bal Tiga.
Jiwa usaha Nitisemito tidak pernah termakan usianya yang semakin tua, kendati sulit bersaing dengan kretek merek-merek baru yang menjamur, Nitisemito terus bangkit. Sebelum kematiannya usahanya menghidupkan Bal Tiga beberapa gagal, Nitisemito tidak takut jatuh bangun dimasa seharusnya dia pensiun demi mengembalikan kejayaan Bal Tiga.
Kehadiran Notosemito dengan Bal Tiga menunjukan bahwa seorang pribumi dengan usaha dari bawahnya akan mampu menjadi golongan kelas menengah terpandang di masa itu. Kejayaan Nitisemito sangat bersamaan dalam masa-masa pergerakan nasional. Seorang pengusaha besar macam Nitisemito setidaknya menyelamatkan banyak pribumi dengan mempekerjakan mereka dalam usaha rokoknya. Dengan begitu buruh pribumi itu tidak bekerja dibawah orang-orang Belanda maupun nonpribumi (seperti Cina). Walau dengan upah hampir sama, hal ini menghindarkan mereka diperbudak oleh tuan-tuan muka pucat Eropa.
Di lapangan banyak pengusaha pribumi dikalahkan oleh pengusaha Cina bahkan Belanda yang bermodal besar. Hal ini melahirkan sebuah organisasi dagang pribumi bernama Sarekat Dagang Islam pimpinan Haji Samanhudi, yang kemudian menjadi Sarekat Islam. Organisasi Islam bernuansa dagang itu juga kemudia berdiri juga di Kudus. Keberadaan Sarekat Islam, dikemudian hari hanyalah menjadi kendaraan politik semata dengan nama Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Sarekat Islam meski kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam tidak mampu memajukan dunia wirausaha pribumi.
Nitisemito patut dicatat sebagai salah satu pengusaha sukses disamping Djohan Djohar. Sebagai pengusaha kretek pribumi, Nitisemito pengusaha adalah yang pertama yang sukses di Kudus bahkan di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda sekalipun, perlu berpikir panjang untuk menutup pabriknya. Pemerintah Belanda pula menganggap Nitisemito berjasa dalam perkembangan industri kretek, kendati tidak catatan yang menyebutkan Nitisemito pernah dapat bintang jasa dari pemerintah kolonial atas usahanya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar