Minggu, 22 Juli 2012


Cerita Bulusan
Bagaimana asal-usul tradisi Bulusan? Cerita Bulusan mengisahkan tentang Mbah Dudo, seorang alim ulama penyebar agama Islam di Kudus. Dia mempunyai murid bernama Umara dan Umari. Dalam perjalanannya menyebarkan agama Islam, Mbah Dudo berniat mendirikan pesantren di kaki Pegunungan Muria.
Pada Bulan Ramadhan, tepatnya pada waktu malam Nuzulul Quran, Sunan Muria datang untuk bersilaturrahim dan membaca Al Quran bersama Mbah Dudo, sahabatnya. Dalam perjalanannya, Sunan Muria melihat Umara dan Umari sedang ndaut atau mengambil (dengan cara mencabuti) bibit padi di sawah pada malam hari.
Sunan Muria berhenti sejenak dan berkata kepada mereka berdua, “Lho, malam Nuzulul Quran kok tidak baca Al Quran, malah di sawah berendam di air seperti bulus saja!”. Akibat perkataan itu, Umara dan Umari seketika menjadi bulus (kura-kura air tawar).
Tak lama kemudian, Mbah Dudo datang meminta maaf atas kesalahan kedua santrinya kepada Sunan Muria. Namun nasi sudah menjadi bubur, Umara dan Umari sudah menjadi bulus dan tidak mungkin dapat kembali lagi berubah menjadi manusia.
Akhirnya, Sunan Muria menancapkan tongkatnya ke tanah dan keluar mata air atau sumber, sehingga diberilah nama tempat itu dengan nama Dukuh Sumber. Kemudian tongkatnya berubah menjadi pohon yang diberi nama pohon tombo ati (obat hati).
Sambil meninggalkan tempat itu, Sunan Muria berkata, “Besok anak cucu kalian akan menghormatimu setiap seminggu setelah hari raya bulan Syawal. Tepatnya pada saat Bodo Kupat, alias Kupatan.
Hmm..sebuah cerita yang, mungkin saja benar atau mungkin tidak semuanya benar. Namun yang pasti sampai sekarang, setiap musim kupatan tiba, keramaian di Dukuh Sumber tak pernah berhenti.
Membaca tulisan di Kompas itu, saya kemudian penasaran. Berencana untuk berkunjung ke sana kali kedua. Sembari mencari tahu lebih jauh lagi cerita ini kepada orang-orang yang bisa dipercaya di sekitar Dukuh Sumber. Terutama mencari tahu di mana pohon tombo ati itu berada. Apakah masih ada atau hanya sekedar cerita. Jika masih ada, akan saya ceritakan kepada Indonesia, agar mereka bisa mendapati pohon itu sebagai obat. Obat bagi seluruh hati masyarakat Indonesia yang kini (kata orang) ‘sedang sakit’.
Nitisemito




Nitisemito menjadi legenda saja dalam sejarah kretek di Kudus. Nitisemito tampil sebagai pengusaha kretek sukses diawal industrialisasi kretek. Penikmat kretek masa kini lebih kenal Dji Sam Soe dari pada Bal Tiga yang pernah Jaya itu. Nitisemito, kalau boleh dibilang dialah konglomerat kretek di awal sejarah komersialisasi di Kudus bahkan di nusantara. Sebenarnya ada banyak legenda dalam sejarah rokok kretek, termasuk cerita penjual kretek bernama Roro Mendut, sosok wanita cantik yang memikat pelanggannya bukan karena rasa kreteknya, melainkan ludah Roro Mendut untuk merekatkan gulungan kreteknya.
Nitisemito tidak meneruskan jejak ayahnya menjadi kepala desa, dia lebih memilih menjadi seorang wirausaha. Di usianya yang ke 17, dia merantau ke Malang (Jawa Timur) bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Perlahan Nitisemito menjadi pengusaha konveksi yang sedang berkembang walau hanya sementara. Usaha konveksinya ini bangkrut karena dililit hutang. Lepas menjadi pengusaha konveksi, Nitisemito pun pulang kampung dan berdagang kerbau dan memproduksi minyak kelapa, usaha ini juga gagal. Akhirnya dia kembali ke bawah lagi, kali ini menjadi kusir dokar. Walau begitu, jiwa dagang-nya masih mengalir dalam tubuhnya, di samping mencari nafkah dengan menjadi kusir, Nitisemito juga menjajakan tembakau.
Perlahan tapi pasti usaha rokok itupun maju pesat. Awalnya, Nitisemito memberi label rokoknya “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo” (Jawa: Rokok cap Kodok makan ular), karena label itu menjadi bahan tertawaan dan tidak membawa hoki,Nitisemito lalu menggantinya dengan nama Tjap Bulatan Tiga. Karena kotak pembungkus rokok ini bergambar bulatan mirip bola, merek ini lebih dikenal pasar sebagai Bal Tiga. Merek Bal Tiga ini akhirnya menjadi merek resmi rokok produksi Nitisemito, akhirnya rokok ini diberi nama: Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito. Secara resmi Bal Tiga lahir pada tahun 1914 di desa Jati, Kudus.
Setelah usaha rokoknya berjalan sepuluh tahun, Nitisemito berhasil mendirikan pabrik diatas lahan 6 hektar di desa jati. Saat itu, di Kudus sudah beroperasi 12 pabrik rokok yang terbilang besar untuk ukuran masa itu, diantaranya milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe) H.M. Muslich (merek Delima), Haji Ali Asikin (merek Djangkar) dan Tjoa kang Hay (merek Trio), M. Sirin (merek Garbis & Manggis). Disamping yang besar, terdapat 6 pabrik rokok kelas-kelas gurem di Kudus waktu itu. Ditahun 1938, Nitisemito telah membawahi 10.000 buruh rokok dengan produksi rokok 10.000.000 batang perhari. Usaha Nitisemito semakin besar dan uang yang masuk semakin deras, untuk lebih mudah mengontrol keuangan, Nitisemito memperkerjakan tenaga pembukuan asal Belanda, orang kulit putih. Ironis untuk zaman itu, seorang pribumi mampu memperkerjakan orang Belanda. Biasanya orang pribumi bekerja pada orang-orang Belanda.
Nitisemito berusaha agar usaha rokoknya abadi untuk anak cucunya. Kaderisasi pewaris usaha diadakan dengan mengambil salah satu pegawai terpandainya untuk masuk dalam keluarganya. Nitisemito melihat bakat wiraswasta pada diri M. Karmani. Putri kedua Nitisemito lalu dinikahkan dengan Karmani. Nitisemito yang akan pensiun pelan-pelan dari usahanya itu mengangkat Karmani sebagai Menejer pabrik rokok Bal Tiga-nya. Begitu semangatnya, Nitisemito juga menyertakan nama Karmani dalam rokok Bal Tiga-nya.
Perjalanan usaha pribumi macam Bal Tiga Nitisemito tidak tanpa badai. Persaingan antar pengusaha, khususnya pengusaha pribumi dengan pengusaha Tionghoa dalam industri rokok berujung pada sebuah konflik dan huru-hara 31 Oktober 1918, yang berbentuk pada tindakan pengerusakan dan pembakaran pabrik rokok kretek, beberapa pengusaha rokok lalu diseret ke pengadilan dan dipenjara. Kerusuhan itu mengakibatkan kemunduran beberapa industri rokok kretek termasuk Bal Tiga.
Jiwa usaha Nitisemito tidak pernah termakan usianya yang semakin tua, kendati sulit bersaing dengan kretek merek-merek baru yang menjamur, Nitisemito terus bangkit. Sebelum kematiannya usahanya menghidupkan Bal Tiga beberapa gagal, Nitisemito tidak takut jatuh bangun dimasa seharusnya dia pensiun demi mengembalikan kejayaan Bal Tiga.
Kehadiran Notosemito dengan Bal Tiga menunjukan bahwa seorang pribumi dengan usaha dari bawahnya akan mampu menjadi golongan kelas menengah terpandang di masa itu. Kejayaan Nitisemito sangat bersamaan dalam masa-masa pergerakan nasional. Seorang pengusaha besar macam Nitisemito setidaknya menyelamatkan banyak pribumi dengan mempekerjakan mereka dalam usaha rokoknya. Dengan begitu buruh pribumi itu tidak bekerja dibawah orang-orang Belanda maupun nonpribumi (seperti Cina). Walau dengan upah hampir sama, hal ini menghindarkan mereka diperbudak oleh tuan-tuan muka pucat Eropa.
Di lapangan banyak pengusaha pribumi dikalahkan oleh pengusaha Cina bahkan Belanda yang bermodal besar. Hal ini melahirkan sebuah organisasi dagang pribumi bernama Sarekat Dagang Islam pimpinan Haji Samanhudi, yang kemudian menjadi Sarekat Islam. Organisasi Islam bernuansa dagang itu juga kemudia berdiri juga di Kudus. Keberadaan Sarekat Islam, dikemudian hari hanyalah menjadi kendaraan politik semata dengan nama Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Sarekat Islam meski kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam tidak mampu memajukan dunia wirausaha pribumi.
Nitisemito patut dicatat sebagai salah satu pengusaha sukses disamping Djohan Djohar. Sebagai pengusaha kretek pribumi, Nitisemito pengusaha adalah yang pertama yang sukses di Kudus bahkan di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda sekalipun, perlu berpikir panjang untuk menutup pabriknya. Pemerintah Belanda pula menganggap Nitisemito berjasa dalam perkembangan industri kretek, kendati tidak catatan yang menyebutkan Nitisemito pernah dapat bintang jasa dari pemerintah kolonial atas usahanya itu.

KYAI TELINGSING

Sebelum berdirinya Kerajaan Islam di Demak, terjadilah kejadian yang menggemparkan di daerah Kudus. Peristiwa itu terjadi pada diri Kanjeng Sunan Sungging. Pada suatu hari Kanjeng Sunan Sungging bermain layang-layang tersiratlah niat beliau untuk melihat dan berkeliling Wilayah Nusantara. Maka mulailah beliau merambat melalui benang layang-layang yang sedang melayang diangkasa. Pada waktu Kanjeng Sunan Sungging sampai ditengah-tengah angkasa, putuslah benang tersebut dan melayanglah beliau bersama layang-layang tersebut hingga sampai ke Tiongkok. Selang beberapa tahun, Kanjeng Sunan Sungging mempersunting seorang gadis Tiongkok. Dalam beberapa tahun kemudian hamillah istri tersebut dan melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama The Ling Sing. Setelah The Ling Sing menginjak dewasa, maka ayahandanya Kanjeng Sunan Sungging memberi petuah kepada anak tersebut. Apabila engkau ingin menjadi orang yang mulia di dunia dan akherat, maka ikutilah jejakku. Apakah yang ayahanda maksudkan ? Pergilah kau ke Kudus yang termasuk wilayah Nusantara, disanalah aku pernah berdiam. Maka berangkatlah The Ling Sing ke Kudus. Setelah ia sampai ketempat yang dituju, maka mulailah The Ling Sing menyiapkan diri untuk membenahi sekelilingnya dan berdakwah. Dimana pada waktu itu masyarakat Kudus masih kuat memeluk agama hindu. The Ling Sing yang lebih terkenal dengan sebutan Kyai Telingsing yang telah lama berdakwah telah lanjut usia dan ingin segera mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok kekanan dan kekiri. (bahasa Jawa Ingak-Inguk) seperti mencari sesuatu. Tiba-tiba Sunan Kudus muncul dari arah selatan, dan secara tiba-tiba Sunan Kudus membangun masjid dalam waktu yang amat singkat, bahkan ada yang mengatakan masjid itu muncul dengan sendirinya. Berhubung dengan hal tersebut desa tempat masjid tersebut berdiri dinamakan desa Nganguk dan masjidnya dinamakan masjid nganguk wali. Akhirnya kedua tokoh tersebut bekerja sama dalam mengembangkan dakwah di Kudus. Dan dengan taktik dan siasat dari Kyai Telingsing dan Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) akhirnya berhasillah cita-cita keduanya untuk menyebarkan Islam di Kudus. Pada suatu hari Sunan Kudus akan kedatangan rombongan tamu dari Tiongkok. Maka dipanggillah Kyai Telingsing untuk membuat sebuah kenang-kenangan kepada tamu tersebut. Oleh Kyai telingsing dibuatlah sebuah kendi yang bertuliskan indah di dalamnya. Setelah kendi tersebut jadi, maka segera diberikan kepada Sunan Kudus. Sunan Kudus setelah melihat kendi yang menurutnya kurang bagus dan biasa-biasa saja yang tidak pantas untuk dihadiahkan kepada tamu dari Tingkok tersebut, wajahnya berubah sinis dan menerimanya dengan kurang berkenan dan dilemparlah kendi tersebut. Setelah kendi tersebut pecah, terdapatlah lukisan yang indah, dimana ditengah-tengahnya tertulis kalimat syahadat. Seketika itu terperanjatlah beliau menunjukkan kekagumanya, sehingga beliau menyadari, betapa kyai Telingsing adah seorang yang memiliki karomah. Diantara sabda dari Kyai Telingsing, “Sholat Sacolo Saloho Donga sampurna", artinya : Sholat adalah sebagai do’a yang sempurna Lenggahing panggenan Tersetihing ngaji artinya : Menempatkan diri pada sesuatu yang benar, suci dan terpuji. Beliau kini makamnya di kampung sunggingan-Kudus. Ada sebagian orang yang mengatakan kalau beliau adalah seorang pemahat yang masuk dalam aliran Sun Ging. Dari nama Sun Ging inilah kemudian terjadi kata Nyungging yang artinya memahat atau mengukir, dan dari kata Sung Ging itu pulalah terjadi namanya Sungingan sampai sekarang ini. ( H. Zawawi Mufid)


SUNAN MURIA 


RADEN Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.
Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer.
Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa turun langsung melerai pertengkaran itu. ''Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang berhak,'' kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia pun melanjutkan perjalanan.
Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan penduduk setempat.
Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria.
Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang menyebutnya keturunan Tionghoa.
Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ''tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa''.
Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.
Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa.
Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.
Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya ''moderat'', mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.
Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara.
Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam masyarakat. Sampai kini, kompleks makam Sunan Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ''Kurang lebih ada sekitar 15.000 penziarah tiap hari,'' tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria.
Mereka berasal dari seluruh pelosok Nusantara. ''Bahkan ada yang datang dari luar negeri, terutama dari negara Islam,'' kata Shohib. Biasanya, kata Shohib, para penziarah ingin mendapat berkah untuk melicinkan usaha, atau mengharap jabatan yang lebih tinggi. Maka tak mengherankan, banyak juga pejabat negara yang datang ke makam Sunan Muria.
Dalam daftar tamu pengurus yayasan yang disodorkan Shohib, terdapat beberapa nama pejabat teras Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, tercatat berziarah ke makam Sunan Muria pada 21 Oktober lalu. Mantan Ketua Dewan Koperasi Indonesia, Prof. Sri Edi Swasono, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto, dan Mantan Kepala Kepolisian RI, Jenderal Roesmanhadi, juga pernah membubuhkan namanya di buku tamu.
Tentu saja tak ketinggalan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang memang rajin bertandang ke makam-makam. Menurut Shohib, Gus Dur berziarah beberapa pekan sebelum lengser dari kursi kepresidenan. ''Hanya saja, ia tak mau mengisi buku tamu,'' kata Shohib. Di kalangan pejabat yang hobi berziarah, kata Shohib, berkembang kepercayaan, jika sudah berkunjung ke makam Sunan Muria, jangan berziarah ke makam Sunan Kudus. 

Jarak kedua makam memang tak begitu jauh, sekitar 19 km. ''Itu pantangan. Kalau berkunjung ke makam Sunan Kudus, bisa kehilangan jabatan,'' kata Shohib. Contohnya Menteri Penerangan kabinet Orde Baru, H. Harmoko. ''Setelah tak menjabat, baru Pak Harmoko mengunjungi makam Sunan Kudus,'' kata Shohib.


KISAH SUNAN KUDUS

MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.

Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.

Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.

Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.

Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.

Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.

Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.

Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.

Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.

Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.

Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud.

Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana.

Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.

Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak.

Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.

Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut.

Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.

Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.

Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.

Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole town."
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.

Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing - masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.